Pemanasan
global
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anomali suhu
permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada
suhu rata-rata dari 1940 sampai 1980.
Pemanasan
global (Inggris:
global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer,
laut, dan daratan Bumi.
Suhu
rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C
(1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan
besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia"[1]
melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih
terdapat beberapa ilmuwan
yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim
yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan
meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990
dan 2100.[1]
Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario
berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta
model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian
terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut
diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1]
Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya
suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti
naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrem,[2]
serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,
hilangnya gletser,
dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal
yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang
diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan bagaimana pemanasan serta
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik
di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi
atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di
dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol
Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Segala
sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.
Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak.
Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas
yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah
gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di
atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah
kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang
menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan
kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut
akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas
tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca.
Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak
panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah
kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar
15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C
(59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi
hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir
penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik
yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan
akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada
awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena
uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan
menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan
konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila
dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara
hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3]
Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan
balik karena pengaruh awan
sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan
memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan
meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut
akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga
meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan
atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe
dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam
model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan
jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga
500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan
dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam
semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik
penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo)
oleh es.[4]
Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah
pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu
siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik
positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang
meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik
positif.
Kemampuan
lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga
membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton
yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]
Variasi Matahari
Variasi
Matahari selama 30 tahun terakhir.

Terdapat
hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan
diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan
saat ini.[6]
Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah
meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer
sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer
bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7]
yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama
pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon
juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut
terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan
aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa
pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa
hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah
diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University
memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%
peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35%
antara tahun 1980 dan 2000.[10]
Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat
ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan
dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari
debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11]
Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas
rumah kaca.
Pada tahun
2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika
Serikat, Jerman
dan Swiss
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat
"keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus
Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil
untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13]
Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan
antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui
variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Mengukur pemanasan global
Hasil
pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal
1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah
komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis
ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program
penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel
atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil
pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di
atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat.
Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan
konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan
juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu
memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu
dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan
iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend)
yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat
dipercaya.
Stasiun cuaca pada
awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan
dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga
panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data
diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan),
serta dari satelit.
Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen
permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini
menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar
terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun
terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga
tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling
panas.
Dalam
laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah
meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju
bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang
menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu
rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga
11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel
juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah
lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu
akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap
berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi
gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi
karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal
abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi
perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim
ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi
masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.
Model iklim
Perhitungan
pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan
scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.

Para ilmuwan
telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan
prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses
lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan
komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca
berefek pada iklim yang lebih hangat.[16]
Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca
pada masa depan, sensitivitas iklimnya
masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan
memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan
pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga
6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1]
Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan
iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan
hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas
manusia.
Model iklim
saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global
hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua
aspek dari iklim.[17]
Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi
antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas
manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975
didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian
besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan
berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus
terhadap Skenario Emisi (Special
Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang
dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon;
yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih
belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan
200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa
umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh
awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap
model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan
dalam menyelesaikan masalah ini.[21]
Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah
model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi
Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuwan
menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer
untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan
telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan
air laut, pantai,
pertanian,
kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim mulai tidak stabil
Para ilmuwan
memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan
Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah
lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan
mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan
mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi
salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan
lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin
dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah
hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan
tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh
lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah
kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi
pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan
yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa
luar, dimana
hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air).
Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar
1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh
dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22].
Badai
akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.
Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan
bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan
dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
Peningkatan permukaan laut
Perubahan
tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil
secara geologi.
Ketika
atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga
akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland,
yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia
telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para
ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi)
pada abad ke-21.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan
100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda,
17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai,
dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai,
banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan
menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari
daerah pantai.
Bahkan
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa
pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Suhu global cenderung meningkat
Orang
mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari
lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin
tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari
gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju)
musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum
puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami
serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan
tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini
karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global,
hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau
selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan
mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju
kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan
cuaca dan lautan dapat
mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul
kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan
permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian
akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan
penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering
muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran
ekosistem dapat
memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases)
maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena
munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan
adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes
aegypti), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat
tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi
kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun
punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan
berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada
peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran
hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi
Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol
selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernapasan
seperti asma,
alergi,
coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak semua
ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa
pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya
mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih
terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan pada masa depan. Kritikan
seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi
manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat
juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan
berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan
yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang
masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku
sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti
selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan
sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama
abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer,
lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi,
pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan
tersebut.
Kurangnya
pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara
yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke
atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol,
memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan
berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol
terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan
pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi
disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuwan telah lama
memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada
tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
memberikan hasil analisis baru tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat
di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut
memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998
lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu
rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan
ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di
troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan
atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi
tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh
National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa
pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran
troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara
jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi
total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1
persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan.
Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan
yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya,
pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih
tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan
dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah
yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara
perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang
lebih dingin.
Ada dua
pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas
tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon
sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah
kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang
paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia,
tingkat perambahan hutan
telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh
kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk
kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah
tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang
berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon
dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan
(menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak
bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery).
Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti
dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah
dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai
Norwegia,
dimana
karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam
ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat
kembali ke permukaan.
Salah satu
sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi
industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara
menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi
pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan
di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang
dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir
lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun
kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi
tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional

Kerjasama internasional
diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992,
pada Earth Summit di Rio de
Janeiro, Brazil,
150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk
menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997
di Jepang,
160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol
Kyoto.
Perjanjian
ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri
yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk
memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990.
Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika
Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih
ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa,
yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang
6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara
berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi
gas.
Akan tetapi,
pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru
terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian
untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia
juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani
dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak
berpengaruh apa-apabila negara-negara industri yang bertanggung jawab
menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak
meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir
Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya
perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang
mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini
dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan
nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari
perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035.
Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap
perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh
industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang
produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim
bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat
menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi.
Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya
sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan
dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan
proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu
negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh
walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi
karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda,
negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil
mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam
mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997,
para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk
menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan
pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas
rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu
negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan
dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini
disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang
sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi
di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan
negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990,
ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena
kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat
1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara
industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Gas Rumah Kaca
Gas rumah
kaca adalah
gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah
kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan,
tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia.
Gas rumah
kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida
adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti:
letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen
dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan).
Karbondioksida
dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan
dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida
dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.
Uap air
Meningkatnya
uap air di Boulder, Colorado.
Uap air
adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap
sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara
regional, dan aktivitas manusia tidak secara langsung memengaruhi konsentrasi
uap air kecuali pada skala lokal.
Dalam model iklim, meningkatnya
temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik
akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer,
dengan kelembapan relatif yang
agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek
rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin
meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai
mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan
sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang
melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2[1].
Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung
melalui terbentuknya awan.
Karbondioksida
Manusia
telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka
membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk
menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik.
Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida
semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk
perluasan lahan pertanian.
Walaupun
lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer,
aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari
kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul
karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007,
konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika
prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai
konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan
bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa
sebelum revolusi industri.
Metana
Metana yang
merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator
yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan
karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara,
gas alam,
dan minyak bumi.
Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan
sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu,
terutama sapi,
sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada
pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah
kali lipat.
Nitrogen Oksida
Nitrogen
oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari
pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Ntrogen oksida dapat
menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini
telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.
Gas lainnya
Gas rumah
kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi
dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon
(HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk
insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari
pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC)
sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi
lapisan ozon
(lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet).
Selama masa abad ke-20, gas-gas ini telah terakumulasi di atmosfer, tetapi
sejak 1995, untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan dalam Protokol
Montreal tentang Substansi-substansi yang Menipiskan Lapisan Ozon,
konsentrasi gas-gas ini mulai makin sedikit dilepas ke udara.
Para ilmuan
telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses
manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada tahun 2000, para
ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di
atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil
sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat
dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi
gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang
telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini
masih belum teridentifikasi.
Protokol Kyoto
|
|
Aamandemen terhadap Konvensi
Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)
|
|
Ditandatangani
- Tempat |
|
Berlaku
- Syarat |
16 Februari 2005
55 Pihak Konvensi dan setidaknya 55% dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I |
Pihak
|
181 negara
dan Uni Eropa (Mei 2008)
|
Protokol
Kyoto adalah
sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional
mengenai pemanasan global. Negara-negara yang
meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida
dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam
perdagangan emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global.
Jika sukses
diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global
antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature,
Oktober 2003)
Nama resmi
persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim). [1]
Ia dinegosiasikan di Kyoto
pada Desember 1997,
dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret
1998 dan ditutup pada 15 Maret
1999. Persetujuan ini
mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi
resmi yang dilakukan Rusia
pada 18 November
2004.
Detil Protokol
Menurut
rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah
sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi
emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar
5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika
dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol,
target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi
rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon
dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung
sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional
berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0%
untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia." [2]
Protokol
Kyoto adalah protokol
kepada Konvensi
Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada
Pertemuan Bumi di Rio de
Janeiro pada 1992).
Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol
Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada
sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Sebagian
besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang
disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Status persetujuan
Pada saat
pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah
diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi [3]. Negara-negara tidak
perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda
tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru para pihak yang telah
meratifikasinya ada di sini [4].
Menurut
syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90
setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk
Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen
dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I,
telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau
pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak"
dicapai pada 23 Mei
2002 ketika Islandia
meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat
"55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari
2005.
Status terkini para pemerintah
Lihat pula: Daftar
penanda tangan Protokol Kyoto
Hingga 3
Desember 2007,
174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru,
Rusia
dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania
dan Bulgaria.
Ada dua
negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol tersebut:
- Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi)
- Kazakstan
Pada awalnya
AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah
bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II
atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. [5]
Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi
protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut.
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan
antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan,
budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi
semakin sempit.Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pengertian
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
- Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
- Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
- Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
- Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
- Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara
menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia.
- Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
- Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
- Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
- Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:- Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
·
Para globalis positif dan optimistis
menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa
globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
·
Para globalis pesimis berpendapat bahwa
globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya
adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika
Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang
homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari
mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
- Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
- Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.]]
Reaksi masyarakat
Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka -- mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
Gerakan antiglobalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)."Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
Globalisasi perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
- Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya
globalisasi tenaga kerja.
- Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
- Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
- Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
- Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Dampak Positif Globalisasi Ekonomi
- Produksi global dapat ditingkatkan
- Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
- Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
- Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
- Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi
- Menghambat pertumbuhan sektor industri
- Memperburuk neraca pembayaran
- Sektor keuangan semakin tidak stabil
- Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Globalisasi kebudayaan
Sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara
global.
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat,
termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai
(values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh
warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi
berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam
alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila
disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada
dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran
dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
- Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
- Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
- Berkembangnya turisme dan pariwisata.
- Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
- Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
- Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
- Persaingan bebas dalam bidang ekonomi
- Meningkakan interaksi budaya antar negara melalui perkembangan media massa
Dampak globalisasi
Dampak positif globalisasi antara lain:- Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
- Mudah melakukan komunikasi
- Cepat dalam bepergian (mobilitas tinggi)
- Menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran
- Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
- Mudah memenuhi kebutuhan
- Informasi yang tidak tersaring
- Perilaku konsumtif
- Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
- Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
- Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar